Senin, 11 Juni 2012

#2 Tragedi Patah Tulang : Hidup Saya (hanya) di atas Ranjang


Seletah tragedi patah tulang itu, hidup saya hanya di atas ranjang. Tidak bisa bermain, tidak bisa ke langgar, juga tidak bisa sekolah. Sayapun harus bersabar dengan kondisi ini. Tangan kiriku sekarang diperban dengan penyangga kayu agar tidak berubah posisi. Sebab jika berubah sedikit saja, akan membahayakan pertumbuhan tulang saya. Akibat terburuknya, tangan saya bengkok.


Tiap lima hari, tukang pijatnya datang untuk melihat kondisi tangan saya, sekaligus memijatnya. Ibu dan rama setia menemani, memberi motivasi dan melayani saya. Tiap hari sanak famili datang bergantian menjenguk. Selain diterapi ala tradisional, keluarga saya juga bertanya kepada ahli medis mencari cara cepat untuk penyembuhan. Diantaranya banyak minum susu dicampur dengan telor ayam kampung. Saya juga dianjurkan banyak-banyak makan sumsum ayam. Walhasil, segala cara ditempuh demi kesembuhan saya. Ada satu cara yang dianjurkan dokter bahkan oleh tukang pijatnya sendiri, yaitu banyak gerak terutama di persendian siku tangan. Tujuannya agar tidak kaku. Tapi cara yang terakhir ini tidak saya jalani. Bukan karena apa-apa. Tapi karena M-A-L-A-S.

Hari berganti hari. Minggu berganti minggu. Bulan berganti bulan. Keadaanku tetap di atas ranjang. Namun walaupun demikian, perkembangan kesembuhan lengan saya cukup mengembirakan. Bahkan saya sudah bisa menekuk lengan. Namun bukan berarti saya bebas menggunakan tanganku semau saya. Memang menurut tukang pijatnya, sesering mungkin menggerak-gerakkan tangan. Tapi tidak boleh berlebihan.

Proses penyembuhan tulang saya sudah berjalan dua bulan. Dan perkembangannya -alhamdulillah- berjalan lancar. Sampai suatu hari, seperti biasanya, saya melatih tangan saya untuk digerakkan dan ditekuk. Supaya persendian tidak kering. Saat saya menekuk tangan, ada kejanggalan yang saya lihat di daerah patahan tulang saya. Ada benjolan yang tampak ketika ditekuk. Namun ketika dijulurkan, benjolan itu hilang. Menurut perkiraan, benjolan itu adalah tulang yang patah yang merenggang kembali. Namun sekali lagi itu adalah dugaan saja. Perlu didiagnosis. Saya dan keluarga cemas, khawatir terjadi apa-apa. Kemudian keluarga memutuskan untuk membawa ke dokter spesialis untuk diagnosis.

Setelah diperiksa, dokter belum bisa memastikan. Hanya dugaan yang sama dengan dugaan awal keluargaku. Dokter menyuruh untuk dironsen. Ternyata benar, setelah dironsen tampak tulang yang retak. Dan jika dibiarkan, tulang itu bisa menembus kulit. Tidak ada jalan lain kecuali dioperasi untuk mengembalikan ke posisi semula. Keluarga langsung lemas setelah mendengar vonis itu. Saya yang waktu itu duduk di sebelah orang tua, melihat mereka meneteskan air mata. Tidak bisa berkata apa-apa. Terutama ibu, beliau tak kuasa menahan tangisnya. Sesekali ibuku mengelus dan mencium kepalaku. Sayapun terlarut dalam suasana sedih. Kemudian, ibu berkata "Percuma ya...terapi pijatnya. Nggak ada hasil" ujar ibu saya.

Akhirnya, keluarga saya rapat mendadak membicarakan rencana operasi. Memang terasa berat, apalagi operasinya tidak bisa dilakukan di Madura, tapi harus dirujuk ke rumah sakit dr. Sutomo Surabaya. Sudah pasti membuthkan biaya besar. Namun operasi ini tidak bisa ditunda. Karena kondisi tulang yang retak ini jika dibiarkan akan menimbulkan dampak buruk. Bisa menembus kulit. Ya Allah! (bersambung)
Load disqus comments

0 komentar