Selasa, 28 Januari 2014

Cerita Kehamilan Istri #1: Alhamdulillah Istriku Hamil

Hari-hari sekarang ini saya harus lebih sabar, hati-hati dalam bertindak dan harus telaten. Kenapa? Sebab istri saya hamil!. Di usia kehamilannya yang masih seumur jagung (dua bulan), ditambah lagi dengan kondisi kehamilan pertama, banyak hal baru yang saya hadapi bersama istri sebagai pengantin baru. Hal baru itu seperti : ngidam, anjuran, dan larangan.


Ngidam istri masih belum ekstrem. Sampai sekarang baru sekali ngidamnya. Yaitu, ketika malam hari jam sepuluhan, tiba-tiba dia merengek minta pisang ijo. Saya mencoba mencari di dapur tidak ada. Biasanya Mak (mbah) punya. Adanya pisang goreng. Hehe..Coba saya tawarkan ke istri. Pikir saya, toh sama-sama pisangnya. Cuma bedanya antara digoreng dan tidak digoreng.

"Mi, pisang ijonya nggak ada. Ini ada pisang goreng" ujarku sambil menyodorkan pisang.
"Nggak ah! Lha wong minta'nya pisang ijo kok" jawab istri saya seraca melanjutkan renge'annya.

Waduh! Repot nih. Mau cari kemana lagi. Jam segini nggak ada toko pisang yang buka. Saya mencoba merayu lagi.
"Besok ae wes abi khan ke Pasuruan. ntar tak beliin sing banyak" ucapku. Alhamdulillah berhasil. Istri saya tidak lagi merengek. Malah dia pergi ke dapur bikin wedang tape dan makan nasi dengan kuah sup. Alhamdulillah...

Mengenai larangan-larangan, semuanya diberitahu ibu mertua. Ibu mertua saya sangat ketat. Maklum calon cucu pertama, sehingga beliau tidak mau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Wah ternyata larangannya banyak ya...tidak boleh punya perasaan dengki, jengkel, ngerasani wa 'ala alihi (pokoknya sifat buruk), dan tidak boleh membunuh binatang.

Sebenarnya nggak cuma itu, ada lagi larangan berdiri di tengah-tengah pintu. Makan di dalam kamar. Kalau mengikat tali atau sesuatu disuruh sambat (jawa : menyebut cabang bayi). Wal hasil seru banget menikmati masa-masa akan menjadi seorang bapak.

Dari sekian larangan yang disebutkan, terkadang –sepengetahuan saya- tidak ada dasarnya dalam ajaran Islam. Hanya semata-mata adat istiadat yang sudah turun temurun yang dipercayai masyarakat. Dengan bekal pengetahuan yang saya dapatkan di pesantren, saya tidak serta merta melakukan semanya. Saya pilah-pilah, apakah berdasar dari agama atau hanya adat istiadat belaka. Bukannya meremehkan, tapi saya harus mengedepankan keyakinan saya tentang bahwa semua dari Allah. Saya teringat dengan hadits “Laa ‘adwaa wa laa thiyaroh” (tidak ada penyakit menular dan tidak ada beradu nasib dengan burung). Dari hadits ini disimpulkan bahwa kita tidak boleh menisbatkan keburukan atas sesuatu, baik itu benda atau hal lain. Karena hal ini meracuni aqidah kita. Wallau A’lam. (2 Desember 2012)
Load disqus comments

1 komentar: