Seperti biasanya, tiap bulan Ramadlan, Kiai dan Ibu Nyai melaksanakan shalat tarawih di ndalem (rumah
Kiai). Imamnya adalah santri yang ditunjuk secara bergantian. Suatu
malam, kebetulan yang menjadi imam adalah ustadz Sulhan. Beliau adalah
guru di pondok dan sekaligus menjabat Aspri (asisten dan sopir
pribadi Kiai dan Ibu Nyai). Makmumnya waktu itu Kiai, Ibu nyai, dan
ustadz Murtadla (cucu Kiai).
Saat shalat witir, ustadz Sulhan membaca
surat Al A'laa yang lumayan panjang. Ketika sampai pada ayat "Walal aakhirotu khoirun waabqoo", dia diam agak lama. Kemungkinan dia ragu-ragu lanjutan ayatnya. Tiba-tiba ustadz Murtadla menyahut dengan maksud mengingatkan "Walal aakhirotu khoirul laka minal ula". ustadz Sulhan membaca seperti yang dibaca ustadz Murtadla dengan yakin. Lalu melanjutkan "Walasaufa yu'thiika robbuka fatardla". "Lho kok meloncat ke surat Adh Dhuha?"
ucapnya dalam hati. Wah tambah bingung. Ustadz Sulhan diam lagi. Ustadz
murtadla menyahut kembali dengan ayat yang sama. Sepertinya dia yakin haqqul yaqin dengan apa yang dibaca. Ustadz Sulhan tak beranjak dari diamnya. Bingung mau baca yang mana. Tiba-tiba "batal...batal...batal" ucap Kiai sambil bertepuk tangan memberi isyarat kalau shalat yang dilakukan batal. Semuanya batal!.
Wajah
ustadz Sulhan langsung memerah menahan malu. Bagaimana tidak, dia
melakukan "kesalahan besar" di depan maha gurunya. Belum hilang rasa
malu yang tersirat di wajahnya, tiba-tiba Ibu Nyai berucap "makanya, kalau nggak bisa panjang, nggak usah panjang-panjang".
Ustadz sulhan hanya tersipu malu. Ustadz Murtadlahanya tersenyum
menahan tawa melihat ustadz Sulhan yang salah tingkah..hehe..Setelah
itu, tak lama kemudian shalat witirnya diulang kembali. Dan kali ini
yang dibaca surat Al Kaafirun. (Singosari, 17 Agustus 2011)
0 komentar