Senin, 17 Februari 2014

Rama in Memories #3: Diputuskan Pulang!

Senin (4/11/13) pada jam kunjung kedua, jam 15.30-16.30, seperti biasanya keluarga semuanya menjenguk Rama secara bergantian. Kecuali saya, selain berkunjung, saya mau pamit pulang ke Malang besok harinya (Selasa), dikarenakan Rabu sekolah masuk.
"Rama, kaule lagguna palemana gellu ka Malang, soalla Rebu masok. Insyaallah Kamis abeliye pole" ucapku. "Iye, mander moghe beres cong ye" jawab Rama diiringi tangisannya. Sayapun tidak terasa menangis sambil menjawab "Enggih beres Ma..".


Sekitar jam 18.00 petang, saya dipanggil ke dalam untuk menerima penjelasan dokter tentang kondisi terkini Rama. Menurut rekap medis, kondisi Rama tidak ada peningkatan. Bahkan ditemukan batu di empedu. Dan ini harus dioperasi untuk mengangkat batu itu. Namun, dokter tidak berani melakukan operasi dikarenakan darah putihnya menurun. Darah putih ini sangat menentukan keberhasilan operasi. Sehingga dokter hanya bisa menunggu kondisi Rama membaik dengan terapi obat.

"Penyakit ini langka. Tingkat keberhasilannya hanya 30%. Dan itupun membutuhkan waktu lama. Tidak sehari dua hari" ujar dokter ketika saya menanyakan sampai kapan pemulihannya sehingga bisa dioperasi. kabar ini saya sampaikan ke keluarga selain ibu. Malam ini yang berjaga di rumah sakit, Mas Farid dan Hamid, famili yang kebetulan menjenguk. Saya, ibu, Mbak Eng, Mak Ajji, Mbak Asti, dan Iron di kontrakan.

Sekitar jam 00.00 dini hari, hp saya berdering. Iron telepon. "Nom, bekna ka romah sake', mbah tensi jantungga naek. Areya bede diye kabbi". Ujar Iron. "Mbah Ebokna beremma?" tanya saya. Maksud saya, apa ibu diberi tahu dan diajak atau tidak. "Cakna bekna la nom" jawab Iron. Hp saya matikan, saya bergegas ke kamar mandi. Mbak Asti dan ibu bangun. Saya pura-pura dari kamar mandi. Saya masih mikir apakah ibu diberi tahu atau tidak. Akhirnya saya beritahu Ibu dengan pertimbangan takut terjadi apa-apa pada Rama. Ketika diberitahu, Ibu langsung lemas tak berdaya. Pikirannya tidak karuan. Mulai menggigau. Mbak berupaya menenangkan Ibu. "Istighfar Bu, tenang...".

Kitapun berangkat ke rumah sakit. Dalam perjalanan, Ibu tak henti-henti menyebut nama Rama sambil menangis. Mbak Asti menuntun Ibu khawatir jatuh. Sesampai di rumah sakit, saya dapati semuanya di luar. Saya bertanya bagaimana kondisinya. Alhamdulillah kondisi Rama sudah stabil. Ibu tetap tidak tenang. Nangis dan nangis.

Jam menunjukkan pukul 03.30 pagi. Waktu Subuh sudah diambang pintu. Saya pulang ke kontrakan mengajak Ibu. Namun Ibu tidak mau. Ibu ingin sholat di musolla rumah sakit. Sebab beliau tidak mau jauh-jauh dari Rama. Takutnya terjadi hal yang tidak diinginkan. Jam 05.30 pagi, semua (kecuali Mas Farid dan Mak Ajji) menyusul ke kontrakan untuk sarapan pagi. Setelah sarapan, semuanya tidur. Karena semalam tidak tidur.

Jam 09.00 saya ditelpon Iron mengabarkan kalau Rama kritis. Tidak sadarkan diri. Saya kaget!. Segera semuanya ke rumah sakit. Di rumah sakit sudah berkumpul semuanya. Di dalam Mbak Eng mentalqin Rama. Sayapun masuk. Ibu sebenarnya mau masuk tapi tidak diperbolehkan oleh keluarga, sebab dikhawatirkan pingsan. Keluarga rapat mendadak untuk mengambil tindakan.

Keputusan sudah didapat. Rama kita bawa pulang dengan pertimbangan, boleh jadi ada keajaiban di rumah dengan bantuan doa, dzikir dan bacaan Alquran sanak famili. Atau apabila diambil Allah, maka akan diiringi doa dan dzikir dari keluarga. Beda halnya kalau di rumah sakit yang hanya bisa ditemani maksimal dua orang!.

Mas Farid dan Mak Ajji mengurus administrasi. Mbak Asti dan Iron kemas-kemas barang di kontrakan. Saya dan Mbak Eng standby di ICU bersama famili lainnya. Ibu terus menangis.

Jam 15.00 sore administrasi selesai. Rama diangkut ambulan. Lagi-lagi saya yang menemani di dalam ambulan, Mbak Eng dan Mak Ajji. Ada dua perawat yang ikut. Ini dikarenakan kondisi Rama memakai oksigen dan tidak sadarkan diri. Bismillah berangkat. Semoga tidak terjadi apa-apa. Alhamdulillah tidak terjadi apa-apa.

Sampai di rumah sekitar jam 18.00. Di rumah sudah berkumpul sanak famili. Diiringi dengan tangisan, lantunan ayat Alquran mereka menyambut kedatangan Rama, orang yang mereka anggap sebagai sesepuh di kampung. Rama langsung dibaringkan di kamar tengah. Kondisi Rama tetap tidak ada perubahan, tidak sadarkan diri. Talqin, tahlil, dan burdah terus menggema.

Subhanallah, keajaiban datang. Rama perlahan-lahan bisa menggerakkan tangan dan kakinya. Padahal selama perjalan tidak bisa. Sesekali tangannya diangkat, mengisyaratkan suhu panas di bagian dada, perut dan punggul. Kita kompres dengan air zamzam. Selain itu ditempeli dengan daun pisang muda untuk meringankan suhu panasnya. Ikhtiyar yang kita lakukan alhamdulillah berhasil. Jam 22.00 kondisi Rama tenang, tidak lagi merasa panas. Tidak lagi bergerak-gerak. Bahkan bisa tidur. Satu persatu sanak famili pulang ke rumah masing-masing. Saya tidur di kamar sebelah. Mas Farid, mak Ajji, mbak Eng dan mbak Asti di teras luar bercengkrama dengan famili menceritakan suasana dan kondisi saat di rumah sakit Surabaya. Iron, ke makam leluhur Rama. Sedangkan Ibu, tetap di kamar menemani Rama bersama mbah mertua.

Tiba-tiba….

"Lil..lil..jeghe. Ramana adek omor". Ujar Mbak Enni, tetangga sebelah membangunkanku. Sayapun kaget. Langsung bangun. Saya belum percaya. Saya langsung ke kamar. Di sana sudah ramai. Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Begitu mudahnya Allah mengambil hambanya. Rama pergi dengan tenang tidak menyusahkan yang ditinggal. Rama meninggal dalam kesunyian. Dimana semua keluarga sedang istirahat. Tepat jam 23.15 WIB. Innalillahi wa inna ilaihi roji'un.

Load disqus comments

0 komentar