Minggu, 16 Februari 2014

Rama in Memories #2: Malam Jum’at Itu…

Rama Ketika di-SCAN
Malam Jum'at (31/10/13) tidak seperti biasanya, Rama setelah solat Magrib istiqomah membaca wirid sampai waktu Isya tiba. Namun, malam itu beliau turun dari Musolla setelah sholat Maghrib. Ini dikarenakan penyakitnya kambuh. Ya, sejak beberapa bulan terakhir ini, Rama mengalami kedinginan yang sangat disertai perut yang mulas dan mengeras (seperti penyakit mag). Kalau sudah begitu, selimut setebal apapun tidak mampu melawan dingin yang dirasakan di sekujur tubuh. Biasanya Rama minum obat lalu tidur.
Namun malam itu, tidak kuat. Beliau minta diantar ke dokter. Ternyata setelah diperiksa, dokter menyarankan untuk periksa ke rumah sakit. Penyakit semakin menjadi-jadi; perut membesar dan mengeras.

Keesokan harinya, Rama dironsen untuk mengetahui kondisi di dalam perut. Kenapa perutnya membesar? Kenapa Rama tidak bisa BAB atau muntah? Menurut hasil ronsen, ada penumpukan cairan di sekitar ususnya. Ini dikarenakan ada usus yang melilit. Cairan ini kalau tidak dikeluarkan akan berbahaya. Bisa menjalar ke seluruh tubuh. Oleh sebab itu, terpaksa dokter memasukkan selang dari hidung sampai lambung guna untuk menyedot cairan itu. Dan sejak pemasangan selang ini, Rama hanya diperbolehkan minum air paling banyak tiga sendok!. Ini untuk meminimalisir bertambahnya cairan. Sepanjang hari kondisi suhu badan Rama panas, terutama di bagian perut dan punggung. Ini dikarenakan suhu panas di dalam perut. AC ruanganpun tidak mempan.

Jam 20.00 (1/11/13) dokter melakukan pemeriksaan kembali. Setelah diperiksa, dokter merekomendasikan untuk dirujuk ke Surabaya, tapatnya di RS Suetomo. Keheningan rumah sakit pecah dengan tangisan keluarga dan sanak famili yang menjenguk. Mereka tidak tega melihat Rama menderita seperti ini. Mereka seakan-akan tidak percaya, sebab kemarin Rama masih segar bugar dan masih sempat menjadi imam solat Maghrib. Rama dibawa ambulan. Saya, Mbak dan Iron, ponakan saya ikut di ambulan.

Sampai di RS. Suetomo Surabaya jam 00.00 dini hari. Berbekal surat rujukan dari Sumenep, Rama masuk IRD dan langsung mendapatkan perawatan. Dicheck-up ulang. Mulai dari tes darah, USG, dan ronsen. Semalam penuh pemeriksaan berlangsung. Jam 06.00 pagi keluarga yang diwakili saya, Iron dan Mbak, dipanggil dokter untuk mendapatkan penjelasan hasil pemeriksaan.

Menurut hasil pemeriksaan, indikasi kuat adalah pangkreas (pembuluh darah) Rama kemungkinan pecah atau mengalami infeksi dan sudah menyebar. Hal ini menyebabkan cairan keluar dari usus. Jalan satu-satunya oprasi. Namun, operasi bisa dilakukan bilamana kadar darah putihnya mencukupi. Untuk mengetahui kadar darah putih, diperlukan alat kontrol yang dimasukkan ke dalam tubuh. Pemasangan alat ini tidak mudah. Fifty-fifty tingkat keberhasilannya. Di sinilah dokter meminta persetujuan keluarga. Setuju dipasang dengan resiko terburuk kena jantung atau paru-paru. Atau menolak dengan menunda pemasangan dan resiko cairan makin meluber. Saya, Mbak dan ponakan saya tidak berani tanda tangan. Sebab Mas saya belum datang. Saya sms Mas agar segera berangkat. Saya bilang kalau kita tidak berani memutuskan. Mas saya membalas sms:

"Mun sakerana tak bisa ngantos sngkok/makajji, pas oprasi kodu elakoni maske efekx k jantung/paru2, mun jeriya  yg terbaik, tdk jln pole se lebih bgus....papasrah k Allah, lgsg oprsi, tp mun bsa ngantos iye antossagi".

Akhirnya kita putuskan untuk menunda pemasangan. Alhamdulillah ada jalan keluarnya. Yaitu dilakukan scan untuk lebih pemperjelas kondisi Rama. Jika benar pangkreasnya bocor, dipastikan operasi. Tapi jika hanya infeksi, tidak usah dioperasi, cukup terapi obat.

Jam 13.00 Mas saya datang. Pada jam itu juga hasil scan didapat. Alhamdulillah tidak jadi dioperasi!, cukup dengan pengobatan insentif. Lega hati ini!. Sekarang Mas mencari kamar untuk memindahkan Rama dari IRD. Di RS. Sutomo semua kamar full. Akhirnya Rama dipindah ke RS. Prima Husada. Dikarenakan beda rumah sakit, Rama kembali masuk ICU untuk dicek ulang untuk menyesuaikan antara hasil pemeriksaan dari Soetomo dengan prosedur dan ketentuan Prima Husada. Hasilnya, tensi jantung tinggi, sesak nafas bertambah parah. Harus di ICU sampai kondisi memungkinkan untuk dipindah ke kamar rawat.

Prima Husada rumah sakit swasta dengan katagori high class. Biaya perawatan di ICU satu juta perhari. Beda halnya dengan RS. Suetomo, rumah sakit negeri, sehingga Askes (asuransi kesehatan) di sana berlaku tidak seperti di Prima Husada. Namun, itu semua tidak dipermasalahkan keluarga. Yang terpenting adalah kondisi Rama kembali sehat dan segera keluar dari rumah sakit. Selain masalah biaya, aturan di sini lebih ketat. Aturan kunjung. Di Prima Husada ini, jam kunjung dua kali, jam 10.30-11.30 dan jam 16.30-17.30. Itupun yang boleh masuk hanya satu orang!. Padahal dalam detik-detik ini Rama membutuhkan support dan pendamping yang siap sedia untuk melayani, walaupun segala kebutuhan sudah dilayani oleh perawat, tapi tetap saja tidak menyamai keluarga sendiri.

Ahad (3/11/13) saat jam kunjung pertama, satu persatu keluarga masuk menjenguk Rama. Tangisanpun tidak bisa terbendung. Lebih-lebih ibu. Namun di balik tangis itu, ada kabar gembira, yaitu kodisi Rama lebih baik dari hari sebelumnya. Kondisi pangkreas membaik. Suhu panas yang selama ini dirasakan Rama berkurang. Wajah Rama lebih segar. Alhamdulillah.
Load disqus comments

0 komentar